Rabu, 18 Maret 2009

Globalisasi dalam Semangkuk Coto

(Globalization in a Bowl of Coto)


Ketika mendengar kata Chinese food, pikiran kita spontan tertuju pada restoran mewah yang menawarkan berbagai macam menu mentereng di dalamnya. Fasilitas ruangan yang ditata demikian apik, table manner, dan makan dengan menggunakan sumpit seolah menjadi gengsi tersendiri bagi para pemujanya. Tak jarang sebagai gantinya, kita harus siap merogoh kocek dalam-dalam demi menikmati makanan dari daratan Asia Timur ini. Sehingga tak dapat dipungkiri lagi, bahwa dalam masyarakat telah terbentuk stigma yang beranggapan bahwa Chinese Food adalah sesuatu yang eksklusif dan diperuntukkan bagi kaum elite saja.

Eits, jangan salah dulu. Itu hanya anggapan segelintir orang saja kok. Faktanya, sangat banyak makanan asal Cina atau Chinese food yang mu-mer alias murah meriah. Saking akurnya dengan selera masyarakat lokal, masyarakat Indonesia sering lupa bahwasanya bakso dan aneka macam mie sebenarnya berasal dari Negeri Tirai Bambu. Bahkan mie dengan berbagai olahannya sudah mampu mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia dengan berperan sebagai salah satu makanan pokok pengganti nasi. Nah looo… Jadi, buat yang merasa bahwa Chinese food cuma buat kaum berdasi dan para Tionghoers saja, harus buang jauh-jauh deh pikiran itu. Soalnya Chinese Food ternyata sangat mudah di dapat dan tentunya dengan harga yang terjangkau pula.

Saking dekatnya di hati masyarakat, PT. Indofood, salah satu perusahaan Indonesia yang memproduksi mie instant, melihat peluang bisnis yang menguntungkan di balik makanan yang berbahan dasar tepung itu. Tak tanggung-tanggung PT. Indofood membuat berbagai variant rasa mie instant yang disesuaikan dengan masakan khas daerah masing-masing di Indonesia. Katakan saja Indomie rasa Kari Ayam, Indomie rasa Soto Ayam, Indomie goreng rasa Rendang, Indomie goreng rasa Sate, Indomie rasa Coto Makassar, dan masih banyak lagi variant lainnya. Dan hasilnya, sukses besar.

Ngomong-ngomong soal Coto, makanan yang menjadi landmark kota Makassar ini konon berasal dari daratan Cina. Loh, kok bisa? Indonesia kan tidak pernah dijajah oleh negara Cina. Yah tentu bisa, sebuah akulturasi budaya tidak selamanya bersumber dari penjajahan secara langsung saja kan?!

Semuanya berawal pada permulaan abad ke-16, ketika para imigran asal Cina yang berprofesi sebagai para tukang kayu dan ahli ukir-ukiran bangunan dibawa oleh Belanda sebagai tenaga ahli yang diperuntukkan membangun kota Batavia. Di samping itu, warga Tionghoa juga berperan sebagai mediator (middle men) antara kepentingan kolonial dan penduduk pribumi. Seiring dengan berjalannya sistem taman paksa (Cultuur Stelsel) yang terjadi pada tahun 1830-1860, posisi warga Tionghoa sebagai pedagang perantara antara keduanya semakin kuat.

Dengan adanya warga Tionghoa di tengah-tengah masyarakat Indonesia, niscaya menghasilkan sebuah akulturasi budaya dalam berbagai bidang, tidak terkecuali di bidang kuliner. Pada masa itu, warga Tionghoa ikut memperkenalkan pula salah satu makanan khas negerinya yakni Caudo. Caudo inilah yang kemudian disinyalir sebagai cikal bakal lahirnya berbagai makanan khas di Indonesia.

Dennys Lombard dalam bukunya yang berjudul ”Nusa Jawa: Silang Budaya”, menyebutkan bahwa Coudo yang pada awalnya sangat terkenal di kota Semarang, perlahan-lahan berubah nama menjadi Soto, orang Pekalongan menyebutnya Tauto, dan orang Makassar menyebutnya Coto, klop bukan?! Yah, namanya mungkin diambil dari cara masing-masing daerah mengucapkan kata Coudo tadi, ucapan kepleset lidah ternyata mampu membuat bumi Indonesia kita semakin kaya. Selanjutnya bagaimana Caudo bisa menyebar ke berbagai daerah di Indonesia?

Seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Lono Simatupang, menyebutkan bahwa secara antropologi, sebuah makanan menyebar seiring dengan penyebaran manusia. Makanan yang tersebar itu kemudian bisa diterima di tempat lain. Selain itu, makanan juga menyebar karena ada proses industri. Penyebaran ini, lanjut Lono, diikuti dengan upaya pelokalan. Proses pelokalan Caudo mungkin sama seperti pelokalan Islam maupun Kristen di Indonesia. Inilah yang mengakibatkan muncul berbagai jenis Caudo di Indonesia.

Beda dengan kota lain di Indonesia yang cenderung terbiasa membuat Soto dengan bahan baku daging ayam, Makassar yang terkenal sebagai salah satu kota penghasil daging sapi dan kebau cenderung menggunakan kedua binatang ternak tersebut sebagai bahan utama. Di samping itu, rasa makanan Cina yang menonjol dengan rasa pedas dan agak asin rupanya pas dengan lidah masyarakat Makassar yang juga terkenal sebagai salah satu kota penghasil rempah. Sehingga dalam pembuatan Coto, dikenal istilah rampah patang pulo atau 40 macam rempah. Dimana setiap rempah memliki fungsi tersendiri di samping sebagai penyedap hidangan, antara lain melembutkan daging dan membersihkan jeroan, juga sebagai pengimbang dan penawar zat zat yang kurang baik yang terdapat dalam bahan yang dipergunakan seperti hati, babat, jantung, limpah yang sarat akan kolesterol sehingga makanan ini menjadi sehat.

Di kota Anging Mammiri sendiri, kolaborasi antara budaya lokal dan tradisi Cina dapat terlihat jelas dalam penyajian semangkuk Coto. Seperti penggunaan ketupat atau burasa sebagai pengiring hidangan ini, mengingat negara Indonesia merupakan negara agraris yang menjadi lumbung padi terbesar di Asia. Budaya Cina dapat dilihat dari adanya sambel taoco sebagai pelengkap hidangan. Yang mana diketahui bahwa sambel taoco merupakan sambel yang sangat terkenal di Cina.

Di samping itu, salah satu ciri khas Coto Makassar adalah dimakan dengan mengunakan mangkuk kecil dan sendok bebek. Yang mana penggunaan mangkuk dan sendok bebek merupakan salah satu pengaplikasian budaya Cina di Indonesia sebab alat-alat tersebut sering digunakan sebagai alat makan sup di Cina. Kebiasaan ini telah tertanam pada masyarakat Makassar, hingga ada anekdot yang mengatakan ”Bukan makan Coto namanya kalau tidak menggunakan mangkuk kecil dan sendok bebek!”

Budaya Cina yang juga ikut diadaptasi oleh para pedagang Coto adalah pikulan. Pikulan adalah salah satu akulturasi yang terjadi dalam masyarakat, dimana pikulan ini sering dipakai oleh orang Cina terdahulu untuk mendistribusikan barangnya secara eceran. Pada awalnya, kebiasaan ini juga diterapkan oleh para pedagang Coto Makassar, namun lama kelamaan berkurang seiring berjalannya waktu dan pedagang Coto pikulan menjadi sangat sulit di jumpai lagi. Para pedagang Coto dewasa ini lebih memilih untuk berjualan di tempat yang tetap, mengingat efektifitas pelayanan.

Tulisan ini bukanlah sebuah tulisan yang bertujuan mengadu domba dua negara dengan klaim-klaim hak patennya. Tulisan ini hanya ingin memberi gambaran kepada kita semua akan berharganya sebuah perbedaan jika dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Keberadaan Chinese food dengan berbagai budaya kulinernya di Indonesia tidak dapat dipungkiri sedikit banyak telah mampu memperkaya budaya bangsa kita yang sangat multikultural.

Globalisasi yang mempertemukan dua budaya yang saling berbeda satu sama lain ternyata dapat terungkapkan melalui semangkuk Coto, hidangan khas kota Makassar. Ini membuktikan bahwasanya globalisasi tidak selamanya mengerdilkan kebudayaan suatu bangsa dan cenderung membawa hawa-hawa negatif saja. Semoga globalisasi dalam semangkuk Coto mampu menjadi salah satu soft power yang sangat unik namun penting, yakni diplomasi kuliner yang makin menguatkan kekerabatan di antara dua bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar